***
Gemerlap lampu di setiap bangunan dan
jalanan adalah hal yang biasa jika malam sudah tiba. Selain disambut dengan
gemerlapan lampu kendaraan, ia sering disambut dengan obrolan hangat dari para
pemuda. Mereka yang sedang berkelana dan istilah kerennya “menemukan jati diri.” Di depan sebuah toko yang sudah tutup nampak 3 orang
pemuda sedang berkumpul, mereka adalah para mahasiswa yang juga sahabat dari
masing-masingnya.
“Kalian
percaya Tuhan?” Asep melontarkan pertanyaan pembuka obrolan. Sebagai pembuka, kiranya bertanya tentang ketuhanan terlalu mendalam. Ah,
tapi biarkan saja mereka.
“Mau
tak mau aku harus percaya,” jawab Miftah.
“Terdengar
seperti karena keterpaksaan. Kau percaya karena terpaksa?”
“Demikian
adanya. Sejak lahir kita sudah Islam karena terlahir dari keluarga muslim,
istilahnya “Islam turunan”
“Terus?”
tanya Yovian dengan menyela.
“Dengan
itu kita seperti terpaksa mengimani Tuhan. Sejak kecil diajarkan segala macam
ibadah, tanpa diberi tahu siapa itu Tuhan. Iya memang dulu juga mengaji di pak
ustadz, tapi aku belum menemukan jawaban tentang Allah yang kita anggap sebagai
Tuhan”
“Aku
setuju. Dengan terlahir dari keluarga muslim, kita auto jadi Islam. Tapi
persoalan mengenal siapa itu Tuhan, kurasa tiap orang berbeda jalan dalam
pengembaraannya. Ada yang cukup dengan didikan orang tuanya, lalu ada yang
melalui pendidikan di pesantren, atau bahkan yang dipandang bahaya sekali pun
seperti atheis lah, atau murtad dulu lah, dan banyak juga yang lainnya,” Asep menanggapi pernyataan Miftah.
“Hahaha…
Kenapa kalian repot-repot mencari Tuhan baru bisa
beriman, jika sebenarnya Tuhan itu tidak ada. Atau bagaimana jika kita sendiri
adalah Tuhan?”
Sembari tertawa Yovian berujar demikian. Terdengar
aneh ungkapan tersebut jika dilemparkan pada orang-orang awam.
Buku Kumpulan Puisi Para Penyair Se-Nusantara BELI BUKUNYA DI SINI! |
Jalanan
malam berangsur sepi dan obrolan mereka sudah mulai dalam topik pembahasannya.
Memang pertanyaan tentang Tuhan adalah pertanyaan yang paling menggangu.
Mengguncang iman dan mendatangkan
keraguan bagi mereka yang masih awam. Tapi percayalah, hal-hal macam inilah yang mesti dikuatkan oleh setiap
insan untuk menjalani kehidupan. Apakah terus-terusan ibadah tanpa mengenal
siapa Tuhannya?
“Aku
juga pernah mendengar kata-kata itu. Terdengar menghujam, menggetarkan, namun
tak lebih dari sekadar ungkapan mereka yang sedang berusaha mencari Tuhan,” Miftah menambahkan.
“Bebaslah,
kalian mau katakan apa pun. Tapi bagi orang awam yang mendengarkan ungkapanku
kitu, pasti mereka akan sinis dan menganggap kita berbahaya,” Yovian menimpal.
“Pertanyaan-pertanyaan
filosofis dan teologis memang menguras pikiran bahkan bisa menimbulkan
keraguan. Tapi jika kita berhasil menemukan arah yang lurus, justru akan
mempertebal keimanan.”
“Ya
betul Sep. Aku setuju. Ngomong-ngomong tentang Tuhan, ada tesis terkenal dari
filsuf Jerman yang menyatakan bahwa rahasia ilmu ketuhanan adalah ilmu tentang
manusia. Kajian teologi adalah kajian antropologi. Demikianlah bahwa ya Tuhan
itu manusia sendiri gitu. Namanya siapa
ya, aku agak lupa. Ferry... Feur...” ucap Yovian sembari mengingat-ngingat.
“Feurbach!
Lengkapnya Ludwing Andreas Feurbach. Ia berkesimpulan bahwa manusia adalah raja
dari segalanya. Dengan itu, ia meniadakan segala hal yang bersangkut
paut dengan Tuhan. Tidak ada Tuhan, tidak ada Allah. Yang kita anggap sebagai Tuhan adalah hasil proyeksi pikiran manusia. Tuhan hanyalah ciptaan dari pemikiran manusia itu sendiri.”
“Edann!
Ngeri juga ya,” Asep membalas perkataan tersebut.
“Keyakinan
pada Allah adalah pencitraan pikiran, sifat, dan keinginan manusia yang
dilemparkan ke dunia antah-berantah. Allah Maha Tahu hanya keinginan manusia
untuk dapat mengetahui segala sesuatu dan Allah ada di mana-mana tiada lain
pemuas hasrat manusia yang tak ingin terikat oleh ruang dan waktu. Allah itu
kekal, tiada lain dambaan manusia untuk mencapai keabadian. Singkatnya, ilmu
tentang Tuhan diobrak-abrik jadi ilmu tentang manusia,” Miftah menjabarkan dengan
mantap.
“Hemn,
bener Mif. Feurbach dalam kitabnya Das Wesen des Christentums menyatakan
bahwa manusia adalah awal dari agama, manusia adalah pusat dari agama. Manusia
pun adalah akhir dari agama. Awal karena ya agama
dianggap adalah ciptaan manusia juga, segala hal di dalamnya adalah rekaan
pemikiran manusia. Pusat agama tiada lain manusia juga karena sebagai umat yang
menjalankan agama. Lalu manusia mengakhiri agama, kalo menurutku ya, dengan adanya degradasi nilai-nilai
keagamaan. Aturan agama yang katanya telah mereka ciptakan berlandaskan
nilai-nilai kebaikan justru mereka sendiri yang melanggarnya. Sehingga agama
dicampakkan begitu saja, ia tak dianggap,” Yovian menambahkan setelah ia berhasil
menggali file dalam otaknya.
Asep mengeluarkan sebungkus rokok plat A
dari saku jaketnya. Kurang afdol rasanya jika berdiskusi tanpa selingan isapan
rokok dan seruputan kopi. Katanya ide dan inspirasi berpikir akan bermunculan
jika ritual rokok+kopi dijalankan. Ya, entah siapa yang mecetuskan teori ritual
kopi+rokok itu, yang pasti di setiap perkumpulan ritual tersebut tak akan
ditinggalkan.
“Sebagai
muslim, kita jangan terlalu berlebihan dalam menanggapi pemikiran filsuf Jerman
itu. Pentingnya open
minded dalam menyikapi setiap pendapat, ” Yovian sambil menyeruput kopi.
“Ya,
betul. Teori tersebut hanya menggambarkan fungsi agama, bukan hakikat agama itu
sendiri. Agama memiliki fungsi psikologis yang memproyeksikan dambaan manusia
yang mustahil kesampaian. Maka Tuhanlah yang ia proyeksikan,” sahut Asep.
“Justru
aneh jika Tuhan sebagai proyeksi dambaan tanpa mempercayai adanya Tuhan.
Analoginya seperti proyeksi film tanpa ada filmnya, kan aneh.”
Obrolan semakin seru karena masing-masing memberikan pandangannya terhadap pemikiran Feurbach. Memang inilah serunya diskusi jika masing-masing memiliki pandangan yang terbuka terhadap permasalahan yang dihadirkan. Tentu argumen yang disampaikan pun berlandaskan referensi bacaan yang sudah dipersiapkan.
“Jika
Allah itu Maha baik muncul karena adanya pikiran ideal manusia terkait
moralitas, maka dari mana manusia bisa menemukan kata “Maha” yang diproyeksikan
kepada Allah? kata “Maha” sendiri tidak hanya mengacu pada sesuatu yang lebih,
tapi merujuk pada sesuatu yang lain daripada manusia. Karena pengalaman empirik
selalu terbatas, maka manusia tidak akan menemukan zat Yang Maha ini secara
konkrit dan indrawi. Jadi manusia bisa beragama dan meyakini adanya Allah
karena kemampuan jiwa manusia yang dapat melampaui batas-batas kemampuan
empiris-indrawi. Manusia adalah makhluk yang memiliki dimensi transenden karena
memiliki kemampuan untuk mengunifikasi hal yang immateril, demikian dalam bahasa antropologi-filosofisnya”
Miftah memaparkan.
“Memang
nampak ada kesesatan berpikir dalam pendapat Feurbach, namun selalu ada hikmah
dari hal paling sesat sekalipun. Ada yang bisa kita ambil nilai pelajarannya,” lanjut Yovian
“Apa
tuh?” Asep bertanya.
“Dalam
realita di lapangan terkadang manusia terkhusus tokoh agama kerap memerintahkan
pengikutnya untuk melakukan suatu perbuatan atas perintah Allah, perintah
agama, dengan doktrin surga yang katanya telah disiapkan bagi mereka yang patuh
tanpa keluh. Padahal itu hanya klaim semata. Hal tersebut adalah proyeksi
kehendak mereka untuk berkuasa dengan dalih atas perintah agama. Menjadikan agama dan Tuhan sebagai kendaraan yang
mengantarkan pada tujuan licik,” Yovian melanjutkan sembari menikmati isapan
rokoknya.
Di kota, jangan harap anda bisa mendengar
merdunya nyanyian binatang malam. Di sini mereka sudah punah, tergantikan
dengan bising kendaraan lalu lalang yang menampar telinga. Indahnya city light pun hanya bisa dilhat dari
dataran tinggi seperti di Cartil atau di daerah Cilengkrang. Sudah lewat tengah
malam dan menjelang subuh datang. Obrolan biasanya sudah mencapai konklusi.
“Berperang dan melukai sesama manusia
dengan label jihad mengatasnamakan agama digaungkan oleh mereka yang berjubah. Aku
juga heran, kok bisa gitu memerangi sesama manusia hanya karena berbeda agama
dan keyakinan. Dan mereka pun tak menyerang atau pun menyakiti. Berarti ini
tiada lain kebenaran menurut proyeksi pikiran mereka. Apakah benar bahwa Allah
memerintahkan demikian?” tanya Asep.
“Tentu bukan begitu. Jika kita menilik
fatwa Ibn Shalah, pada dasarnya orang-orang kafir harus hidup karena Allah Swt. tidak ingin menghancurkan makhluk-Nya. Bukan untuk
diperangi! Pun jika diperangi, itu karena kondisi terpaksa bukan karena mereka
tidak beriman. Bukan kah rosul juga pernah berpesan
kepada para sahabat ketika dalam peperangan apa ya aku lupa lagi. Baginda nabi
berpesan agar jangan membunuh anak-anak, wanita, orang tua yang lemah, jangan
menebang pohon, merusak gereja dan hal-hal lain tanpa alasan yang jelas,” Yovian menjawab dengan yakin.
“Jadi gimana nih Mif?” biasanya Miftah akan
memberikan konklusi terhadap obrolan yang telah berlangsung sejak tadi.
“Pada intinya jangan memproyeksikan
kepentingan nafsu atas nama agama apalagi dengan Tuhan. Jika begitu sama saja
dengan para ateis. Feuerbach membunuh fungsi agama dengan kesombongan
intelektualnya, apakah kita juga membunuh hakikat agama dengan nafsu kita?
Orang beragama harus lebih mawas diri, dan mewaspadai laku hidup keagamaan baik
dalam wilayah pribadi atau jamaah, itu adalah ajakan dan desakan. Demikian yang
bisa dipetik dari pemikiran Feuerbach,” pungkas Mif dengan mantap.
Roko tinggal tersisa puntungnya, kopi hitam
hanya tertinggal ampasnya, dan gorengan yang dibeli 10 ribu tinggal tersisa
plastiknya. Mereka segera membereskan sisa-sisa ritual itu dan hendak bergegas
pulang ke kosan masing-masing. Mif dibonceng Yovian dan Asep berjalan kaki
karena kosannya dekat dari sana. Sebelum berpisah, Asep berkata.
“Gadang membicarakan Tuhan, tapi subuh
kesiangan. Kade ulah kitu dak!”
“Moal, hahaha. Langsung gasss masjid. Hayu,
assalamualaikum!" sahut Miftah
“Waalaikumussalam.”
BACA DI SINI!
0 Komentar